Catatan PembukaKeris
adalah senjata tradisional yang berasal dari Jawa. Sebagai salah satu
senjata, keris diciptakan dengan teliti dan rapi serta melalui
perhitungan yang sangat matang. Menurut Bambang Harsinuksmo dalam
Ensiklopedi Keris, Keris pertama ditemukan di Jawa pada sekitar abad ke 7
Masehi. Pada saat itu, bentuk keris masih sangat sederhana. Pecinta
keris menyebutnya sebagai BETHOK sebagaimana terpampang dalam salah satu
relief di Candi Borobudur.
Terdapat paling tidak dua bentuk standar
keris yaitu keris lurus (lajer) atau keris berliku (luk). Selain itu,
Keris juga dilengkapi dengan banyak sekali rincian yang hampir pada
setiap perbedaannya memiliki nama tersendiri.
Setiap bilahan keris
terdiri dari tiga bagian utama yaitu Bilah, Ganja (bagian bawah keris)
dan Pesi(pegangan keris). Tiap bagian memiliki ciri tertentu dengan
nama-nama tertentu pula. Keris-keris ini juga masih dilengkapi dengan
sarung (warangka) sebagai upaya membuat keris lebih terawat yang
biasanya terbuat dari kayu (ada juga yang terbuat dari gading, tulang,
viber dll) dengan teknik hiasan yang beragam. Biasanya, keris yang indah
juga memiliki sarung yang Indah. Dalam pameran keris Benteng Vrederberg
bebebapa waktu lalu, saya pernah melihat sarung keris yang luar biasa
indah dan priceless. Keris dari Lombok ini memilki gagang dan sarung
yang terbuat dari Gading. Di gading tersebut diukir sebuah kisah di
kerajaan tempat keris berasal. Dikisahkan dalam ukiran gading bahwa sang
Putri yang kecewa karena keputusan sang raja ayahnya akhirnya
menceburkan diri ke laut. Dalam kasus seperti ini, keris dan sarungnya
merupakan barang yang tidak terpisahkan.
Perlengkapan dasar keris
selain Warangka adalah Pendok (kecuali pada warangka sandang walikat),
Selut(hiasan yang menyatukan Ganja dengan pegangan keris), dan Ukiran
(pegangan keris). Pendeknya, menghapalkan seluruh bagian keris secara
kasat mata dapat menjadi pelajaran setara S-1 karena rumit, banyak
jenisnya dan banyak cabangnya. Sehingga seorang ahli keris yang hapal
perbedaan satu dapurkeris dengan dapur lainnya adalah mereka yang sudah
lama menekuni dan mencintai keris.
Hampir semua orang hebat di negeri
ini memiliki keris. Mulai dari para wali-wali songo (wali sembilan yang
paling berpengaruh terhadap penyebaran agama Islam di Jawa), Raja-raja
di seluruh nusantara sejak jaman abad 7, Pangeran Diponegoro, Soekarno,
Sudirman, Soeharto dan lain-lainnya. Untungnya semua orang ini masih
mencoba melestarikan budaya keris. Pernah suatu ketika, sebagaimana
dimuat di majalah keris edisi awal, pada saat Megawati menjabat sebagai
Presiden RI, dilakukan penghitungan ulang terhadap seluruh pusaka
berbagai bentuk milik alm Soekarno, ayahnya, yang teletak di beberapa
istana presiden. Jumlahnya totalnya ada 178 buah. Tidak percaya dengan
angka keramat tersebut. dilakukan penghitungan 3 kali lagi dan ternyata
hasilnya tetap berjumlah 178, sebuah penerjemaan angka dari 17- 8
(agustus).
Tulisan ini akan mencoba berefleksi dengan keris sebagai
senjata dan warisan budaya di satu sisi dengan anggapan mitos dan
ketakutan syirik di sisi yang lain. Bambang H menyebut keris memiliki
dua sisi sekaligus yaitu eksoteri dan isoteri. Eksoteri membahas tentang
teknik dan bentuk kasat mata dari sebilah keris sedangkan isoteri
membahas tentang “sesuatu” yang tidak kasat mata dari keris. Argumen
akan disajikan berkaitan dengan pandangan umum yang melihat keris
identik semata-mata dengan klenik dan syirik, tanpa melihat dan
mengetahui sedikit lebih dalam tentang keris. Bahasan tentang eksoteri
keris akan disajikan lebih dahulu, diikuti oleh kupasan tantang isoteri
sebagai elemen-elemen dalam keris. Walaupun ditulis oleh orang awam,
penulis berharap tulisan ini bermakna bagi pembaca di tengah rimba raya
dunia perkerisan, oleh karena itu, pembaca diharapkan mengikuti
link-link yang tersebar di seluruh tulisan untuk mengetahui lebih dalam
tentang keris. Satu lagi, klasifikasi yang terurai di bawah ini bukan
mutlak karena begitu variatifnya ilmu tentang tosan aji satu ini.
Eksoteri
Salah
satu bagian paling penting dalam eksoteri keris adalah teknik pembuatan
keris. Teknik pembuatan keris dilakukan dengan menghilangkan
elemen-elemen yang tidak signifikan atau mengganggu melalui proses
penempaan, pukulan dan lipatan-lipatan. Proses ini bertujuan untuk
mendapatkan intisari dari bahan-bahan pembuat keris. Tidak mengherankan
dari sekitar 6-7 kg (bahkan beberapa ada yang lebih dari 13 kg) bahan
baku pembuat keris yang bermacam-macam, tergantung hasil yang
diinginkan, hanya akan menjadi 3 0ns – 5 ons keris yang indah. Dengan
demikian hanya akan dihasilkan inti dari bahan awal pembentuk keris.
Teknik pembuatan keris ini di beberapa negara dikenal sebagai teknik
Besi Damascus dan tetap digunakan hingga kini.Teknik ini memahami betul
bahwa benda tipis dan kecil akan menjadi semakin kuat jika terdiri dari
beberapa lapisan. Semakin banyak lipatannya semakin kuat. Keris memiliki
lipatan terkecil 32 dan ada yang mencapai ribuan lipat dari 1,2, 4, 8,
16, 32, 64 dst. Pembuat pisau terkenal di Bali dan Bandung yang melayani
pesanan dari tentara menggunakan teknik ini (kalau tidak salah merknya
Rhino). Selain itu, ketika saya berjalan-jalan di beberapa toko pisau
di Canada, Belanda dan Australia, beberapa pisau yang mahal memiliki
tampilan mirip keris yang juga dibuat dengan teknik lipatan.
Bahan
baku keris berasal dari lebih 120 komponen yang sebagian besar sudah
sulit didapatkan saat ini. Dalam pertemuan dengan almarhum Mpu Djeno
Harumbrojo, sekitar tahun 2004, beliau menuturkan bahwa tidak mudah
(bahkan sangat susah untuk manusia jaman sekarang yang maunya instan)
untuk membuat sebilah keris. Menurut beliau, untuk mendapatkan keris
yang diinginkan, dibutuhkan logam dari berbagai tempat di Indonesia.
Nah, Salah satu bahan yang paling sulit didapatkan adalah bahan yang
berasal dari Meteor. Mpu Djeno adalah keturunan terakhir Mpu di kerajaan
Mataram. Sampai dengan akhir hayatnya, pesanan keris untuknya masih
menumpuk karena keterbatasan tenaga.
Menurut Mpu Djeno, Meteor yang
dimiliki Kraton Yogyakarta sekarang ini hanya tersisa beberapa kilogram
saja, ketika beliau membuat keris pesanan HB IX, batu meteor dipotong
sedikit untuk dipakai sebagai bahan. Kraton Surakarta memiliki lebih
banyak stok yang ditandai dengan adanya Kandjeng Kyai Meteor di
Kasunanan Surakarta. Akibat terbatasnya bahan-bahan pembuat keris, saat
ini, mpu-mpu muda dari Aeng Tong Tong Sumenep Madura lebih banyak
menggunakan bahan nickel sebagai pengganti meteor sebagai usaha untuk
memunculkan pamor, walaupun sepintas hasilnya tidak kalah dengan mpu
jaman dulu. Saat ini setidaknya keris terdiri dari tiga unsur utama
yaitu, besi, baja dan pamor.
Mpu mumpuni seperti Almarhum Djeno yang
membuat keris dengan teknik tradisional membutuhkan waktu lebih dari
enam bulan untuk menghasilkan keris dengan tingkat kesulitan sedang.
Untuk membuat sebuah masterpiece, seorang mpu tidak segan membuat hanya
satu bilah keris seumur hidupnya. Melalui sistem pembuatan keris yang
lebih modern, mpu muda jaman sekarang mampu menyelesaikan keris dengan
lebih cepat karena dapat menciptakan suhu 1200 drjt Celcius dengan lebih
stabil. Namun demikian, sulitnya membuat keris juga didasarkan atas
sifat keris dibuat berdasarkan pesanan dan tidak bersifat massal,
sehingga disesuaikan dengan keinginan dan karakter pemesannya. Dalam
filosofi Jawa, Keris menjadi semacam identitas pribadi yang unik.
Saat
ini, pecinta keris umumnya memiliki kriteria tertentu untuk menilai
sebuah keris baik dari sisi eksoteri, maupun isoterinya. Beberapa
kriteria pokok antara lain, Tangguh (masa pembuatan), Sepuh (umur
keris), dan Wutuh (keutuhan bilah). Harga jual keris banyak ditentukan
oleh ketiga faktor tersebut. Semakin tua dan semakin utuh sebuah keris,
harganya semakin mahal. Sebauah pengecualian tentu saja diberikan kepada
keris yang memang sudah mahal sejak awalnya karena hiasan intan,
permata, emas dan gading yang menjadi pelengkap sebuah keris, baik di
bilah maupun di warangkanya.
Isoteri
Isoteri keris selalu menjadi
misteri, baik bagi pemilik keris, komunitas tedekatnya misalnya keluarga
dan lingkingan yang lebih luas. Isoteri keris merupakan pengalaman
individual pemilik keris yang seringkali tidak dapat diceritakan kepada
orang lain, cukup dinikmati sendiri dan menjadi pengayaan pribadi.
Banyak orang menganggap isoteri sebuah keris sebagai tuah keris dan
menjadi salah satu alasan penting bagi kolektor keris untuk memilikinya.
Walaupun
seringkali tidak memiliki kaitan langsung, isoteri keris banyak
dihubungkan dengan racikan keris. Terdapat lebih dari 38 karakter yang
mempengaruhi sebuah keris. Setiap karakternya yang terdiri dari jenis
yang jumlahnya bisa mencapai puluhan jenis. Artinya, faktor exotery ini
sangat berpengaruh terhadap isoteri. Kombinasi dari ricikan menentukan
bentuk dasar dari keris yang diberi nama berdasarkan ciri-ciri tertentu
(dapur) .
Setidaknya, terdapat dua hal subordinant yang menjadi
perhatian dalam menentukan tuah sebilah keris, yaitu dapur dan pamor.
Pamor adalah bagian dari dapur yang menunjukkan “gambar” tertentu yang
merupakan kreasi di satu sisi dan ketidaksengajaan di sisi lainnya dari
seorang empu pembuat keris. Bentuk pamor ini merupakan hasil dari teknik
tempaan dan lipatan yang dilakukan. Pamor yang dibuat sengaja oleh
seorang empu diperoleh dengan mengubah sudut tempaan, tekanan, panas
dls. Pendeknya sang empu berusaha membuat gambar pada logam menyala yang
di lipatnya pada suhu 1200 derajat celcius. Pamor Melati Rinonce
misalnya, dalam bilah keris, sang empu berusaha membuat bunga-bunga
melati yang digandeng dari bawah sampai atas dengan komposisi yang sama
dan terstruktur. Karena itu,Pamor diberi nama berdasarkan bentuk
gambarannya. Nama-nama pamor berikut misalnya, dipercaya memiliki tuah
untuk mendatangkan rejeki antara lain Beras Wutah (Wos Wutah), udan mas,
pedaringan kebak, segara wedi dls. Ada pula pamor yang dipercaya
membawa tuah yang buruk bagi beberapa daerah misalnya pamor buntel
mayit.
Antara Senjata dan “Tuhan”
Pada awalnya keris diciptakan
sebagai sebuah senjata. Keris merupakan senjata tusuk yang dipakai untuk
berperang. Ujung bilah dan bagian sisi keris yang dibuat tajam (baik
pada keris lajer dan luk) diasah saatpertama kali dibuat, dipakai
sebagai senjata tusuk untuk menembus kulit dan merobek daging. Beberapa
keris yang berbentuk melingkar (luk) bertujuan untuk memperlebar luka
pada musuh. Budaya jawa yang menyandingkan keris sebagai bagian dari
baju adat jawa merupakan bukti lain bahwa keris adalah senjata (gaman)
pada masa lalu yang idealnya dibawa kemana-mana. Walaupun pendapat ini
banyak ditentang pecinta keris karena keris lebih banyak dipakai sebagai
“sipat kandel” atau menguat Percaya Diri, bukan sebagai senjata tikam.
Eh toh, Trunajaya juga ditikam dengan keris oleh Amangkurat, Aryo
Penangsang pun terurai ususnya oleh keris, sebelum ditikam Tombak
Kandjeng Kyai Pleret.
Ironisnya keris saat ini lebih dikenal sebagai
bagian dari klenik dan syirik. Ketika bangsa Indonesia generasifacebook
saat ini melihat keris, langsung diasosiasikan negatif . Keris dilihat
sebagai sarana meruntuhkan iman dengan kandungan klenik yang seolah-olah
inherent didalam tiap bilah keris. Temen saya di utara Jogja sana,
sempat mendapatkan komentar miring dari tetangganya ketika secara
kebetulan tetangganya melihat teman saya itu “nglolosi” atau melepas
salah satu koleksinya untuk diminyaki sebagai perawatan rutin keris.
Teman saya yang kebetulan rajin ke masjid ini langsung dicomment “rajin
sholat kok suka keris”. Emangnya kenapa, so what gitu lho???
Saya
memprediksi, keris bernasib serupa dengan Al Quran. Di beberapa tempat
di rural area Indonesia. Al Quran umumnya ditempatkan di tempat yang
tinggi, di atas lemari biasanya, dan menjadikannya justru sulit dibaca.
Pandangan sebagai kitab suci menjadikan sebagian orang harus melakukan
ritual bersuci (berwudhu) sebelum membaca Al Quran dan berusaha memahami
isinya. Proses penyucian diri ini tentu saja tidak salah, dianjurkan
memang, yang menjadi keprihatinan adalah prosedur-prosedur itu
seringkali menghalangi upaya belajar Al Quran itu sendiri, even
terjemahannya. Sehingga sangat mudah menemukan Al Quran yang berdebu
karena jarang dibaca. Quran menjadi sesuatu yang sulit diakses karena
repotnya prosedur untuk mengaksesnya. Lha mau berlajar saja susah,
apalagi mengerti? Saya tidak tahu kapan hal ini dimulai. Dugaan saya,
penjajahlah yang memulainya. Bagaimana menjauhkan manusia dari ilmu
hakikinya adalah dengan memberikan syarat yang merepotkan untuk belajar.
Akibatnya kita menjadi bodoh dan tidak memiliki semangat perlawanan.
Ujung-ujungnya kita menjadi lebih mudah dikibuli dan dijajah.
Keris,
saya kira mengalami masalah yang sama. Sebagai salah satu sarana untuk
menjauhkan orang Indonesia dari senjatanya adalah dengan cara
menciptakan mitos pada bilah yang sebenarnya menunjukkan keindahan
mahakarya sebuah budata. Kultur bangsa ini yang masih memegang teguh
semangat rukun (harmony and helpfullness), menjadikan obrolan tetangga
adalah sebuah sumber kebenaran signifikan. Akibatnya, lambat laun dapat
kita temukan dampaknya saat ini. Melihat keris adalah melihat “tuhan”
yang lain.
“tuhan-tuhan” yang Bertebaran
Jika kita ingin jujur,
dunia modern menciptakan “illah-illah” yang bertebaran di mana-mana.
Illah yang tidak hakiki itu bisa kita temukan mulai dari obat sakit
kepala, dokter, rumah sakit, bos, dosen dls. Ketika kita percaya bahwa
Paramex adalah penghilang rasa sakit kepala, ketika hanya dengan dokter
anu penyakit kita bisa sembuh, kita sudah tergelincir untuk menciptakan
illah temporer dalam hidup kita. Bahwa keyakinan tentang seluruh hal
yang terjadi dalam diri kita adalah sepengetahuan dan dengan kehendak
Allah satu-satunya Illah yang wajib kita sembah, entah hilang ke mana.
Selama ini, asumsi syirik dekat dengan hal yang tradisional, padahal
modernitas (baca: Kapitalisme) menyergap dengan sangat dasyat. TV dan
segenap komponen iklannya adalah propaganda kemusrikan itu. Orang
mencibir kemungkinan syirik di sebilah keris yang selalu tertutup
warangkanya, tapi lupa pada “berhala besar” yang bernama Rumah Sakit
dimana jutaan orang setiap hari datang untuk “memuja” kesembuhan dalam
biomedicines.
Pendeknya, syirik dapat ditemukan dengan mudah dan
tidak melulu harus dan melalui keris. Pada saat kita menjauhi keris,
bule-bule di luar sana diam-diam belajar tentang bagaimana keris bisa
dibuat, bagaimana bangsa ini ternyata luar biasa kaya dalam teknik
tempa. Temuan tentang pisau di beberapa negara bisa menjadi
indikasinya. Akibatnya tentu bisa ditebak, penjajahan akan terus
berlangsung. Sebagaimana pesan almarhum pak Bambang di bukunya yang
kurang lebih berisi, “jangan biarkan anak cucu kita belajar keris dari
bangsa lain”
Tulisan ini merupakan wujud apresiasi atas usaha banyak
pihak yang akhirnya menjadikan keris sebagaithe world’s intangible
heritage yang harus dilestarikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar