Negeri kita merupakan salah satu negara yang paling majemuk
di dunia. Dihuni oleh ratusan kelompok etnik dan kaya akan bahasa serta
kebudayaan daerah.
Jika dirangkum secara keseluruhan, kemajemukan masyarakat Indonesia
ditandai oleh kemajemukan suku bangsa dan bahasa(sekitar 250 dialek),
agama (Budha, Hindu, Islam, Katoloik, Konghucu, Protestan dll),
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (sekitar 400 aliran), sistem
hukum (nasional, agama, adat), sistem kekerabatan, dan sistem
perkawinan(monogami dan poligami).
Jumlah pulau yang amat banyak, suku-suku dengan bahasa, budaya,
(termasuk di dalamnya budaya spiritual), adat-istiadat dan agama-agama
serta kepercayaan yang berbeda-beda seperti di lukiskan di atas,
menampilkan kekayaan Indonesia yang sesungguhnya tidak ternilai
harganya. Keragaman satu sama lainnya saling berbeda, inilah yang
membedakan Indonesia dengan negara-negara yang lain. Kita sangat kaya
dengan keragaman. Inilah yang sebenarnya harus kita banggakan dari
negara kita.
Memasuki perjalanan 65 tahun kemerdekaan Indonesia dan 102 tahun
kebangkitan nasional ini, bangsa kita ternyata masih menyisakan berbagai
persoalan yang memperihatinkan. Selain mengalami krisis keteladanan dan
rawannya perpecahan akibat sikap kedaerahan maupun kelompok atau
individu-individu, juga nyaris tidak ada lagi yang bisa di banggakan
untuk mengakui diri sebagai orang Indonesia. Padahal, semestinya
perjalanan 65 tahun kemerdekaan Indonesia sudah bisa membawa bangsa kita
ke arah kemajuan dalam bingkai persatuan yang kokoh dan kuat. Para
pendiri bangsa kita dulu seperti Bung Karno, Bung Hatta,
Sutan Sjahrir,
Jendral Sudirman dan lain-lain adalah ornag-orang yang layak kita sebut
pahlawan sekaligus negarawan. Mereka berhasil menyatukan kita semua yang
berbeda-beda suku, bahasa, agama, dan adat-istiadat, ke dalam satu
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sudah sepatutnyalah kita sebagai bangsa melakukan introspeksi dan
evaluasi diri. Apa yang menyebabkan bangsa kita rasanya makin terpuruk
seperi sekarang ini.
Jika kita menengok ke belakang di era tahun 1908 atau sebelum
Indonesia merdeka, di bawah berbagai tekanan, para pemuda dan rakyat
Indonesia pada waktu itu bisa menjadi pelopor perjuangan. Hal ini sangat
berbeda dengan saat ini. Memang kita tidak bisa membandingkan begitu
saja dari era tahun 1908 atau sebelum Indonesia merdeka dengan sekarang.
Namun, pada masa itu para pemuda dan Rakyat Indonesia yang tergerak
hati dengat semangatnya bersatu padu melawan penjajah. Ada yang berjuang
melalui parang fisik dan ada juga melalui organisasi dan pemikiran. Dan
akhirnya di tahun 1945 kita bisa memproklamasikan kemerdekaan.
Para pendiri bangsa kita dulu seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sutan
Sjahrir, Jendral Sudirman dan lain-lain adalah ornag-orang yang layak
kita sebut pahlawan sekaligus negarawan. Mereka berhasil menyatukan kita
semua yang berbeda-beda suku, bahasa, agama, dan adat-istiadat, ke
dalam satu bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kini, kondisi negara kita sudah lain. Penilaian terhadap Indonesia selalu negatif, dan tidak menguntungkan. Bicara Indonesia, orang langsung teringat bom Bali, Indonesia nagara terkorup ketiga, dan sebagainya. Pertikaian dan kerusuhan antar kelompok jadi sering terjadi. Keadaan sosial ekonomi makin sulit.
Nah, kini sudah menjadi tanggung jawab dan tugas kita untuk bersatu padu mencerdaskan bangsa menuju Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. Untuk itulah kita harus membangitkan kembali semangat kebangkitan yang kedua. Kita juga harus mengobarkan dan menyebarkan kembali semangat ke-Indonesiaan. Kita harus pula menghargai apa yang ada dan berasal dari negeri kita sendiri.
Apa yang kita butuhkan untuk menumbuhkan kesadaran dan membangkitkan rasa kebersamaan, tanggung jawab, termasuk dalam membangun kesejahteraan bangsa ini?
Kesadaran itu mula-mula harus tumbuh dari diri kita sendiri, dari keluarga kita sendiri, bagaimana kita menghargai diri kita, dan bagaimana kita menghargai orang lain. Kita harus menghargai orang lain seperti kita menghargai diri kita sendiri. Tentunya kita juga harus menjadikan masa lalu itu sebagai cermin untuk evaluasi. Dulu kita punya sesuatu yang kita banggakan. Sekarang harus bisa kita banggakan kembali. Kalau dulu kita sangat kuat akan peresatuan baik pulau-pulau yang ada maupun kehidupan bermasyarakatnya, maka kita harus mengembalikannya kembali seperti dulu. Kita tidak perlu menkotak-kotakan, biarkan kita tetap kokoh kuat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kini, kondisi negara kita sudah lain. Penilaian terhadap Indonesia selalu negatif, dan tidak menguntungkan. Bicara Indonesia, orang langsung teringat bom Bali, Indonesia nagara terkorup ketiga, dan sebagainya. Pertikaian dan kerusuhan antar kelompok jadi sering terjadi. Keadaan sosial ekonomi makin sulit.
Nah, kini sudah menjadi tanggung jawab dan tugas kita untuk bersatu padu mencerdaskan bangsa menuju Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. Untuk itulah kita harus membangitkan kembali semangat kebangkitan yang kedua. Kita juga harus mengobarkan dan menyebarkan kembali semangat ke-Indonesiaan. Kita harus pula menghargai apa yang ada dan berasal dari negeri kita sendiri.
Apa yang kita butuhkan untuk menumbuhkan kesadaran dan membangkitkan rasa kebersamaan, tanggung jawab, termasuk dalam membangun kesejahteraan bangsa ini?
Kesadaran itu mula-mula harus tumbuh dari diri kita sendiri, dari keluarga kita sendiri, bagaimana kita menghargai diri kita, dan bagaimana kita menghargai orang lain. Kita harus menghargai orang lain seperti kita menghargai diri kita sendiri. Tentunya kita juga harus menjadikan masa lalu itu sebagai cermin untuk evaluasi. Dulu kita punya sesuatu yang kita banggakan. Sekarang harus bisa kita banggakan kembali. Kalau dulu kita sangat kuat akan peresatuan baik pulau-pulau yang ada maupun kehidupan bermasyarakatnya, maka kita harus mengembalikannya kembali seperti dulu. Kita tidak perlu menkotak-kotakan, biarkan kita tetap kokoh kuat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tak lama lagi rakyat kecil akan merasakan pil pahit. Bersamaan gulung
tikarnya semua sentra-sentra industri kecil, yang banyak menyerap
tenaga kerja. Pengangguran semakin berjibun. Orang miskin semakin
berjejer-jejer, tanpa memiliki lagi harapan masa depan. Hal ini
berkaitan dengan keputusan pemerintah, tentu dalam hal ini, langkah
Presiden SBY, yang menandatangani Perjanjian Perdagangan Bebas
Asean-Cina (CAFTA).
Sejatinya Indonesia terlalu memaksakan diri ikut ke dalam sistem perekonomian dunia, tanpa diserta pertimbangan yang matang. Sektor ekonomi menengah ke bawah masih sangat rapuh. Hal ini sejak zaman Presiden Soeharto sampai Presiden SBY, sektor ekonomi menengah ke bawah tidak pernah dibangun dengan sungguh-sungguh. Justru sejak zaman Orba sampai sekarang ini, justru yang mendapatkan proteksi, modal, dan lisensi, para pengusaha besar (konglomerat), yang sudah berubah menjadi kartel, dan menguasai jaringan usaha dari hulu sampai ke hilir.
Sementara itu, pengusaha menengah ke bawah, yagn notabene jumlah banyak, tak pernah mendapatkan sentuhan pemerintah, dan dibiarkan hidup dengan sendirinya. Pemerintah sejak zaman dinasti Soeharto sampai SBY, relatif sangat kecil porsi yang diberikan ke pengusaha menengah yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional, melalui aktivitas ekonomi di sektor riil. Pemerintah masih tetap bersikap konservatif, terus berkutat kebijakan pada sektor ekonomi makro. Sehingga dengan kebijakan seperti ini, tak mungkin mengangkat kehidupan pengusaha menengah kecil. Sampai sekarang suku bank yang ditetapkan Bank Central (BI), yang diatas 14 persen, yang tidak mungkin dapat menupang usaha-usaha sektor riil.
Ditengah-tengah sektor ekonomi dari kalangan pengusaha menegah kebawah yang megap-megap ini, Presiden SBY bersama denga pera pemimpin Asean menandatangani perjian CAFTA, yang akan berdampak hancurnya seluruh perekonomian rakyat. Indonesia akan hanya menjadi negara konsumen, yang akan menjual produk-produk barang-barang dari Cina. Aktivitas sektor indusrti kecil menengah akan punah dengan sendiri. Segala barang dari Cina pasti akan masuk kedalam pasar domestik Indonesia, dari kota sampai ke desa-desa. Tak ada barier (hambatan) atau restrik (pembatasan) dengan adanya perjanjian itu. Bahkan, sekarang saja belum diberlakukan perjanjian CAFTA, Indonesia sudah kebanjiran barang-barang dari Cina, baik yang legal atau illegal.
Tapi, bersamaan dengan CAFTA akan banyak pabrik yang gulung tikar, tidak akan mampu lagi, menghadapi gelombang serbuan dari barang-barang Cina, yang pasti membanjiri pasar domestik. Produk-produk ‘home industri’ Cina yang dibeli negara, kemudian di eksport ke negara-negara Asean itu, tak lain hanya menjadi pembunuh rakyat di kawasan Asean. Meskipun, negara-negara lain, diluar Indonesia sudah jauh lebih siap menghadapi serbuan barang-barang Cina dibandingkan dengan Indonesia. Karena, memang barang-barang Indonesia sangat tidak kompetitip, bukan hanya kaulitas yang rendah, tetapi juga harga yang mahal. Karena, produk barang-barang terlalu banyak dibenani variabel, diluar faktor ekonomi, seperti pungli, berbagai perizinan, dan juga upeti-upeti, yang mengakib atkan tambahan biaya.
Seharusnya pemerintah Indonesia melakukan proteksi terhadap industri dalam negeri Indonesia, dan melindungi industri dalam negeri yang m asih dari kemampaun melakukan persaingan ditingkat regional, termasuk menghadpai barang-barang Cina. Cina yang memiliki jumlah penduduk sebesar 1,3 milyar, seharusnya menjadi pasar barang-barang dari negara-negara Asean, tetapi kenyataannya, negara-negara Asean yang menjadi tempat pembuangan barang-barang yang diproduksi oleh Cina.
Banyak negara-negara industri maju, yang bersikap proteksionis, khususnya untuk melindungi rakyat mereka. Amerika, Jepang, Perancis, dan beberapa negara lainnya, juga mereka melidungi rakyatnya. Petani di Amerika tetap mendapatkan subsidi dari pemerintah Amerika, meskipun Amerika sudah terikat dengan perjanjian perdagangan bebas, tapi Amerika bersikeras memberkan perlindungan para petani mereka dengan jalan memberikan subsidi.
Indonesia menghadapi masa depan yang suram dengan tingkat pertumbuhan ekonomi, yang paling tinggi, hanya 6 persen, dan mungkin dibawah 6 persen, sangat sulit untuk mengatasi jumlah angkatan kerja yang terus bertambah. Sementara itu, pemerintah tidak mau melindungi pengusaha menengah dan kecil, yang banyak menyerap tenaga kerja, tetapi justru sekarang ini pemerintah dalam hal ini Presiden SBY, ikut dalam perjanjian bebas dengan Cina melalui CAFTA, yang akhirnya akan mematikan seluruh sektor ekonomi menengah kebawah, yang banyak menopang mereka. Inilah pahitnya kehidupan di bawah pemeritahan rejim SBY.
Asset-asset negara dan sumber daya alam dikuasai asing, sementara sentra-sentra produksi rakyat habis akibat serbuan barang-barang Cina, inilah keadaan yang dihadapi Indonesia di masa depan.lWallahu’alam.
Sejatinya Indonesia terlalu memaksakan diri ikut ke dalam sistem perekonomian dunia, tanpa diserta pertimbangan yang matang. Sektor ekonomi menengah ke bawah masih sangat rapuh. Hal ini sejak zaman Presiden Soeharto sampai Presiden SBY, sektor ekonomi menengah ke bawah tidak pernah dibangun dengan sungguh-sungguh. Justru sejak zaman Orba sampai sekarang ini, justru yang mendapatkan proteksi, modal, dan lisensi, para pengusaha besar (konglomerat), yang sudah berubah menjadi kartel, dan menguasai jaringan usaha dari hulu sampai ke hilir.
Sementara itu, pengusaha menengah ke bawah, yagn notabene jumlah banyak, tak pernah mendapatkan sentuhan pemerintah, dan dibiarkan hidup dengan sendirinya. Pemerintah sejak zaman dinasti Soeharto sampai SBY, relatif sangat kecil porsi yang diberikan ke pengusaha menengah yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional, melalui aktivitas ekonomi di sektor riil. Pemerintah masih tetap bersikap konservatif, terus berkutat kebijakan pada sektor ekonomi makro. Sehingga dengan kebijakan seperti ini, tak mungkin mengangkat kehidupan pengusaha menengah kecil. Sampai sekarang suku bank yang ditetapkan Bank Central (BI), yang diatas 14 persen, yang tidak mungkin dapat menupang usaha-usaha sektor riil.
Ditengah-tengah sektor ekonomi dari kalangan pengusaha menegah kebawah yang megap-megap ini, Presiden SBY bersama denga pera pemimpin Asean menandatangani perjian CAFTA, yang akan berdampak hancurnya seluruh perekonomian rakyat. Indonesia akan hanya menjadi negara konsumen, yang akan menjual produk-produk barang-barang dari Cina. Aktivitas sektor indusrti kecil menengah akan punah dengan sendiri. Segala barang dari Cina pasti akan masuk kedalam pasar domestik Indonesia, dari kota sampai ke desa-desa. Tak ada barier (hambatan) atau restrik (pembatasan) dengan adanya perjanjian itu. Bahkan, sekarang saja belum diberlakukan perjanjian CAFTA, Indonesia sudah kebanjiran barang-barang dari Cina, baik yang legal atau illegal.
Tapi, bersamaan dengan CAFTA akan banyak pabrik yang gulung tikar, tidak akan mampu lagi, menghadapi gelombang serbuan dari barang-barang Cina, yang pasti membanjiri pasar domestik. Produk-produk ‘home industri’ Cina yang dibeli negara, kemudian di eksport ke negara-negara Asean itu, tak lain hanya menjadi pembunuh rakyat di kawasan Asean. Meskipun, negara-negara lain, diluar Indonesia sudah jauh lebih siap menghadapi serbuan barang-barang Cina dibandingkan dengan Indonesia. Karena, memang barang-barang Indonesia sangat tidak kompetitip, bukan hanya kaulitas yang rendah, tetapi juga harga yang mahal. Karena, produk barang-barang terlalu banyak dibenani variabel, diluar faktor ekonomi, seperti pungli, berbagai perizinan, dan juga upeti-upeti, yang mengakib atkan tambahan biaya.
Seharusnya pemerintah Indonesia melakukan proteksi terhadap industri dalam negeri Indonesia, dan melindungi industri dalam negeri yang m asih dari kemampaun melakukan persaingan ditingkat regional, termasuk menghadpai barang-barang Cina. Cina yang memiliki jumlah penduduk sebesar 1,3 milyar, seharusnya menjadi pasar barang-barang dari negara-negara Asean, tetapi kenyataannya, negara-negara Asean yang menjadi tempat pembuangan barang-barang yang diproduksi oleh Cina.
Banyak negara-negara industri maju, yang bersikap proteksionis, khususnya untuk melindungi rakyat mereka. Amerika, Jepang, Perancis, dan beberapa negara lainnya, juga mereka melidungi rakyatnya. Petani di Amerika tetap mendapatkan subsidi dari pemerintah Amerika, meskipun Amerika sudah terikat dengan perjanjian perdagangan bebas, tapi Amerika bersikeras memberkan perlindungan para petani mereka dengan jalan memberikan subsidi.
Indonesia menghadapi masa depan yang suram dengan tingkat pertumbuhan ekonomi, yang paling tinggi, hanya 6 persen, dan mungkin dibawah 6 persen, sangat sulit untuk mengatasi jumlah angkatan kerja yang terus bertambah. Sementara itu, pemerintah tidak mau melindungi pengusaha menengah dan kecil, yang banyak menyerap tenaga kerja, tetapi justru sekarang ini pemerintah dalam hal ini Presiden SBY, ikut dalam perjanjian bebas dengan Cina melalui CAFTA, yang akhirnya akan mematikan seluruh sektor ekonomi menengah kebawah, yang banyak menopang mereka. Inilah pahitnya kehidupan di bawah pemeritahan rejim SBY.
Asset-asset negara dan sumber daya alam dikuasai asing, sementara sentra-sentra produksi rakyat habis akibat serbuan barang-barang Cina, inilah keadaan yang dihadapi Indonesia di masa depan.lWallahu’alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar